Selasa, 04 Oktober 2011

Tarian Aurora, Moga Bunda Disayang Allah

Ketika teringat pada aurora, saya pasti selalu teringat suatu kisah sedih yang pernah saya baca dari novel karangan Tere Liye "Moga Bunda Disayang Allah". Novel ini menceritakan tentang seorang anak yang bernama Melati yang mengalami cacat yaitu buta total, tuli total, dan otomatis juga Bisu. Melati cacat saat ia berumur 3 tahun, disaat ia belum banyak mengenal benda, mengenal dunia, bahkan ia belum mengenal penciptanya.  Sudah banyak yang telah dilakukan oleh orang tua melati demi kesembuhan Melati, namun semunya tak menghasilkan apapun. dalam keputusan asaan, akhirnya sang Bunda mendatangi seorang seorang pemuda yang bernama Karang. tak banyak yang Bunda harapkan, Bunda hanya ingin Melati bisa mengenal dunia, mampu berkomunikasi dengn orang sekelilingnya, bahkan mengenal Allah.

Melalui Karang, Melati akhirnya mampu mengenal dunia dan berkomunikasi dengan orang disekelilingnya walaupun banyak cobaan yang dilalui oleh melati. Dalam membantu Melati menemukan caranya untuk mengenal dunia, karang pernah menceritakan sebuah cerita kepada Melati walau Meati sendiripun tak mengerti apa yang Karang ceritakan. namun Cerita ini sungguh menyentuh hati saya, inilah ceritanya "Tarian Aurora"
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Aurora hanya terjadi di Kutub Bumi. Jauh, jauh di ujung dunia. Tempat yang selalu terbungkus es, tempat yang amat dingin. Gumpalan es membungkus ujung-ujung ranting pepohonan. Salju membuat kaki terbenam hingga lutut. Siangnya dingin, apalagi pada malam harinya. Dulu, dulu… sekali penduduk tidak pernah melihat Aurora. Belum ada pada saat itu. Hingga peristiwa menyedihkan itu terjadi…

Tinggallah suatu keluarga miskin di antara mereka. Disana ukuran kaya atau miskin bukan hanya dari pakaian mahal, atau makanan mewah. Tapi miskin dan kaya amat ditentukan dari kepemilikan api. Api untuk menghangatkan di malam hari. Api yang memberikan udara hangat dan nyaman, tapi keluarga itu tidak memilikinya. Hanya orang-orang tertentu yang menguasai api, hanya golongan tertentu yang diijinkan membuat api. Keluarga itu tidak, dan itu sudah aturan main turun-temurun…

Keluarga itu tidak besar. Terdiri dari Ayah, Ibu dan seorang gadis kecil. Wajahnya bulat penuh cahaya kebaikan, perangainya penuh sifat mempesona. Gadis kecil itu juga rajin membantu ibunya, benar-benar anak yang bisa diandalkan.

Setiap kepala keluarga  di perkampungan salju itu bekerja sebagai pemburu. Maka itu pekerjaan Ayah, berburu rusa, berburu binatang salju, ikan dan apa saja yang bisa dimakan. Sedangkan ibu bertugas menjaga rumah, memasak hasil tangkapan suaminya, bahkan menyamak kulit, dan memuat pakaian-pakaian tebal.
Suatu ketika, tibalah masa-masa sulit itu. Enam bulan berlalu, badai musim dingin terus mengungkung perkampungan… Padahal lazimnya hanya terjadi hanya tiga-empat bulan saja. Membuat sulit kehidupan. Benar-benar membuat semuanya sulit… Tidak ada lagi rusa di hutan dekat perkampungan. Danau yang biasanya bisa digunakan untuk mencari ikan sempurna membeku. Sulit sekali mencari binatang liar untuk dimakan, persediaan makanan musim panas sudah menipis. Seluruh perkampungan menghadapi masalah serius.

Dan lebih serius lagi bagi keluarga miskin itu. Tidak ada makan, tidak ada api, itu sama saja dengan malam-malam yang harus mereka dilalui dengan penderitaan. Malam-malam terasa lebih panjang, menggigil kedinginan.. tapi gadis kecil itu tidak pernah mengeluh,  meski gelap, meski dingin, Ia menyibukkan diri dengan bersenandung. Menatap langit gelap tertutup badai lewat iglo.
Bertanya banyak hal pada Ayah dan Ibunya… Tentang mengapa malam tidak terasa hangat seperti siang, mengapa malam tidak ada cahaya yang mempesona seperti matahari. Mengapa dunia tidak siang saja selamanya.. biar mereka tidak kedinginan, biar mereka tidak perlu peduli lagi dengan nyala api.. Perut gadis kecil itu terasa lapar, tapi Ia tidak ingin membebani Ayah-Ibunya dengan berkeluh kesah. Hanya bertanya, sambil terus bersenandung riang.

Gadis kecil itu terus bersabar dengan situasi buruk itu… Meski ia tidak pernah kunjung mengerti mengapa iglo lainnya terlihat lebih terang dengan nyala api, sedangkan iglo mereka tidak. Dulu ia suka bertanya hal itu, tapi Ayahnya hanya bilang soal siapa yang berhak dan siapa yang tidak. Ayahnya malah menjawab dengan intonasi marah. Seolah bertanya urusan yang amat dilarang. Takut karena katanya bakal muncul naga raksasa yang mengamuk membakar seluruh perkampungan tersebut jika ada yang berani bertanya-tanya soal aturan main tersebut.

Di bulan ke sepuluh sejak badai salju mengungkung pedesaan, Ayahnya yang pergi berburu suatu hari tidak pernah pulang kembali lagi. Ditunggu semalaman, tidak juga pulang. Seminggu. Sama saja. Sebulan. Tetap begitu.. Maka serunai kesedihan mulai menguar dari igloo mereka. Gadis kecil itu menunggu senyap di depan jendela setiap malam. Siapa tahu Ayahnya pulang membawa kelinci salju, atau rusa. Tidak ada. Sama sekali tidak ada kabar….

Gadis kecil itu sedih sekali. Tak terkatakan. Menunggu kosong di bawah bingkai jendela, berharap siapa tahu siluet tubuh Ayahnya terlihat di gerbang hutan..
Tapi Ia tidak ingin rasa sedihnya ,menambah kesedihan ibunya. Lihatlah, ibunya yang sedang hamil tua terbaring lemah di atas ranjang. Sebulan terakhir jatuh sakit. Ibunya tidak bisa melakukan apa pun, bahkan bergerak saja susah. Maka gadis kecil itu mulai mengambil alih pekerjaan rumah. Menyelimuti ibunya yang setiap malam menggigil. Membersihkan salju yang setiap malam menumpuk. Memetik dedaunan yang tersisa. Memandang sedih perut buncit ibunya yang mengandung adik yang selalu diharapkannya…
Hingga suatu malam, demam ibunya semakin parah. Gadis kecil itu memutuskan untuk meminta pertolongan. Pergi ke igloo lainnya yang terlihat bercahaya, meminta nyala api. Ia ingin ibunya hangat malam ini, tapi hanya kata-kata penolakan kasar tidak dimengerti yang Ia terima. Ada yang berhak. Ada yang tidak. Gadis kecil itu bahkan tidak paham mengapa dunia ini harus tercipta dengan perbedaan. Ia hanya butuh nyala api kecil, untuk membuat ibunya hangat, sesederhana itu, tidak lebih tidak kurang…

Malam itu, gadis kecil tertatih-tatih berlari dari suatu igloo ke igloo lainnya, di tengah badai salju yang menggila, tubuhnya kuyup dan kakinya gemetar melewati tumpukan salju hingga paha. Benar-benar percuma, tidak ada yang peduli. Meski ada yang bersimpati, keluarga itu takut untuk melanggar pantangan.
Menjelang tengah malam, gadis kecil itu menangis kembali. Tidak ada. Benar-benar tidak ada nyala api untuk ibunya. Malam ini ia akan melihat lagi pemandangan menyedihkan tersebut. Suara gemelutuk gigi ibunya, tubuh yang menggigil… Gadis kecil itu menangis, bergerak mendekat ingin memperbaiki selimut ibunya yang tersingkap…

Tapi ia keliru. Sungguh keliru. Tidak ada gemelutuk gigi itu lagi, tidak ada tubuh yang menggigil itu lagi. Yang ada hanya lenggang. Sepi. Ibunya sudah pergi. Selama-lamanya, tak kuasa menanggung segala penderitaan…
Malam itu, situasi benar-benar buruk. Ibunya meninggal. Gadis kecil itu menangis tersedu di depan ibunya yang sudah membeku. Menciumi wajah kaku ibunya. Berseru tenang, ‘Jangan tinggalkan aku sendiri.. Aku mohon ibu jangan pergi…’. Amat menyakitkan melihatnya.. Dan lebih menyakitkan lagi melihat gadis kecil itu mendongak menatap langit yang gelap oleh badai. Gadis kecil itu jatuh duduk bertanya kepada kelamnya langit mengapa dunia diciptakan penuh perbedaan. Mengapa manusia bangga sekali dengan kasta. Kemuliaan. Kasta. Yang satu lebih hebat, lebih dihargai, lebih segalanya, sementara yang lain tidak.

Gadis kecil itu benar sekali.. mengapa dunia diciptakan dengan penuh perbedaan. Yang satu dilebihkan dari yang lain… ada yang bisa melihat. Bisa mendengar, ada juga yang tidak. Ada yang cerdas, ada yang tidak. Apakah semua itu adil? Apakah takdir itu adil? Padahal bukankah semua pembeda itu hanyalah semu. Tidak hakiki. Ketika sang waktu menghabisi segalanya, bukankah semua manusia sama…

Entahlah, ia tidak mengerti banyak hal, yang ia ingin hanya penjelasan mengapa keluarga mereka tidak berhak memiliki nyala api. Gadis kecil  itu tersungkur meminta penjelasan. Mengapa Tuhan tidak menciptakan nyala api yang benderang bagi semua. Menciptakan cahaya di malam hari yang indah mempesona. Cahaya yang membuat hangat dan nyaman bagi siapa saja yang melihatnya di tengah udara dingin dan rasa sepi. Cahaya yang dimiliki oleh setiap orang. Tidak hanya untuk yang berhak, tidak hanya untuk yang boleh..

Menjelang pagi, gadis kecil itu terhuyung keluar dari igloo. Ia tidak tahu hendak kemana. Ia sendiri, tanpa Ayah, tanpa Ibu, jadi buat apa tinggal di igloo itu lagi. Pergi. Gadis kecil itu memutuskan pergi, pergi dari perkampungannya yang tidak pernah dimengertinya. Mencari jawaban atas pertanyaannya. Tidak ada yang tahu kemana gadis kecil itu pergi. Tidak ada. Ia menghilang sejak pagi itu. Raib di telan bumi. Yang penduduk desa itu tahu, sehari setelah kepergian gadis kecil itu, mendadak badai salju yang mengungkung desa mereka hampir setahun lenyap.. dan belum habis keterkejutan mereka, mendadak di tengah gelap gulita malam, seberkas cahaya indah muncul menghias angkasa… itulah aurora… Tarian cahaya yang sungguh indah. Berpilin. Berpadu. Seperti sejuta pelangi.. Ituloah aurora! Memberikan perasaan hangat dan nyaman bagi yang melihatnya. Menjadi penghibur di malam dingin dan senyap.. Itulah aurora..
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar