Sabtu, 26 April 2014

Ada Makna Dalam Setiap Petualangan

Guru saya pernah berkata: "Temukan tempat baru dan orang-orang baru, maka kau akan menemukan pemahaman baru dalam dirimu tentang dunia dan kehidupan".

Kehidupan yang keras dan getir selalu membuat saya berpikir akan arti kehidupan, tentang pertanyaan-pertanyaan "mengapa" yang muncul ketika jiwa sedang lelah, seperti "mengapa seperti ini?, mengapa bukan saya?, mengapa saya tak seberuntung dia? dan banyak lagi pertanyaan mengapa lainnya". Bahkan kadang terpikir bahwa tuhan tak adil dan mempertanyakan akan esensi keberadaan Tuhan. Namun dari pertanyaan-pertanyaan itu, tak sadar saya telah memulai perjalanan dalam menemukan jati diri saya.
"Ketika pikiranku sedang kosong, maka aku akan membaca. Membaca buku apapun yang dapat mengisi kekosongan pikiran. ketika hatiku sedang gundah dan gelisah, maka aku akan melebur dengan alam. Karena dengan bersama alam, hati menjadi peka."

Awalnya saya hanyalah anak kebun yang hanya bertemankan ayam dan kucing hutan. Kemudian keluarga pindah dan menetap di sebuah desa kecil dan cukup terisolasi. Di desa inilah,  saya menuntut ilmu di sebuah sekolah dasar dengan dinding kayu lapuk. Setelah lulus SD, dengan bermodalkan tekad dan semangat hidup mandiri saya memberanikan diri merantau ke kota dan melanjutkan sekolah di sana. Yang terpikir oleh saya saat itu hanyalah bagaimana saya bisa memperbaiki kehidupan keluarga saya. Tinggal sendiri di rantau dan jauh dari keluarga membuat saya tak tahu kemana mau mengadukan keluh kesah saya ketika ada masalah. Tak jarang saya terkadang menangis sendirian di tepi sungai atau tepi danau ketika sedang letih. Mulai saat itu, setiap ada masalah saya berpetualang untuk menenangkan pikiran. hingga pada akhirnya sayapun merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri saya setelah berpetualang seperti pikiran saya menjadi lebih terbuka, dll.

Tak jarang petualangan memberikan paradoks baru yang mengubah anggapan kita terhadap sesuatu. Misalnya ketika saya berpetualang ke Pulau Belitung. Saya menemukan paradoks baru yang menurut saya penting. Kebanyakan orang yang tinggal di tepi pantai (pesisir) berkarakter kasar dan cepat marah, namun berbeda dengan orang-orang belitung. Orang-orang Belitung adalah orang pesisir yang sangat baik dan lembut yang pernah saya temui. Atau ketika saya berpetualang ke jawa, negeri kayangan Dieng, anggapan saya tentang orang jawa-pun berubah. Di daerah saya, orang pribumi dan orang jawa kurang rukun. Namun setelah saya ke Dieng, ternyata mereka tidak semua orang jawa itu seperti yang di daerah saya, mereka orang yang sangat baik. Selain itu, petualangan juga membuat kita mensyukuri kehidupan. Dulu, ketika saya belum pernah mendaki gunung. saya beranggapan bahwa anak-anak mapala yang suka mendaki gunung telah melakukan hal yang sia-sia. Kenapa sih mereka suka mendaki gunung? capek iya. Namun pandangan tersebut berubah ketika saya ikut trip mendaki gunung. Perjuangan mendaki yang melelahkan terbayarkan ketika mencapai puncaknya. Awan berombak bagai samudra. Tak terbayang betapa kecilnya saya ketika melihat keindahannya.

Dari sekian petualangan yang saya lakukan, mulai dari hanya ke kebun, duduk di tepi jembatan Ampera, merenung di tepi danau atau sungai, ke pantai, menyeberang ke pulau, hingga mendaki gunung, semuanya telah memberikan makna dalam hidup saya. Dengan berpetualang saya bertemu orang-orang baru di tempat yang baru, saya mulai banyak memahami karakter orang lain dan mengenal berbagai bahasa, menyaksikan keindahan alam ciptaan tuhan, bahkan terkadang menemukan sosok inspirasi atau juga sosok yang kurang beruntung yang dapat mengingatkan kita agar selalu bersyukur. Tanpa sadar, berpetualang telah menjadikan saya pribadi yang lebih baik.

sungai ogan



Tanjung Binga, Belitung
  Batu Baginde, Belitung

 
perjalanan menuju Pulau Lengkuas 

 
Pulau kepayang

   Tanjung Tinggi

  Ketemu sosok Inspirasi Andrea Hirata di belitung

Mendaki Gunung Prau, dieng

     di Gunung Prau
Gunung Tajam

Candi Arjuna, Dieng

Jumat, 24 Februari 2012

Menghitung Kecepatan Terbang Malaikat Jibril


Ahli Fisika dari Mesir bernama DR. Mansour Hassab El Naby berhasil membuktikan berdasarkan petunjuk Al Qur'an (QS As Sajdah:5) kecepatan cahaya dapat dihitung dengan tepat sama dengan hasil pengukuran secara ilmu fisika modern (A New Astronomical Quranic Method for The Determination of The Greatest Speed C  

Berdasarkan QS As Sajdah ayat 5: Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu [1190]
Secara jelas ayat tersebut memakai perbandingan bahwa satu hari sama dengan 1.000 tahun, dihitung dengan cermat ternyata sama dengan kecepatan cahaya. Pertanyaannya kemudian, petunjuk ayat ini apakah sebagai penjelas atas petunjuk ayat dalam Al Qur'an yang lain?

Apakah kecepatan cahaya merupakan yang paling cepat di jagad raya ini seperti dugaan manusia sekarang berdasarkan ilmu fisika modern? Dari beberapa ayat di dalam Al Qur'an disebutan bahwa malaikat mempunyai kecepatan terbang yang sangat cepat. Seperti dalam QS An Naazi´aat ayat 3-4

3. Dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat
4. Dan (malaikat-malaikat) yang mendahului dengan kencang
Juga pada QS Al Mursalat ayat 1-2 dijelaskan bahwa malaikat terbang dengan kencang atau cepat:
1. Demi malaikat-malaikat yang diutus untuk membawa kebaikan,
2. Dan (malaikat-malaikat) yang terbang dengan kencangnya [1537].

Bagaimana malaikat terbang? Malaikat dapat terbang karena memiliki sayap, ada yang mempunyai 2, 3 atau 4 sayap. Disebutkan pada QS Faathir ayat 1:

Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dari penjelasan tersebut dapat lebih jelas bahwa yang mampu terbang dengan kecepatan tinggi adalah malaikat. Seberapa cepat terbangnya?

Apakah sama dengan kecepatan cahaya atau berapa kalinya? Dalam QS Al M a´aarij ayat 4 secara jelas disebutkan:

Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun [1510]

Petunjuk dalam ayat tersebut sangat jelas bahwa perbandingan kecepatan terbang malaikat adalah dalam sehari kadarnya 50.000 tahun. Berdasarkan metode penghitungan yang dilakukan DR. Mansour Hassab El Naby seperti dalam tulisannya bahwa untuk satu hari yang berkadar 1.000 tahun sama dengan kecepatan cahaya (299.792,4989 km/detik). Berdasar rumus-rumus dan cara yang sama untuk perbandingan sehari sama dengan 50.000 tahun dapat diperoleh hasil perhitungan sama dengan 50 kali kecepatan cahaya (14.989.624,9442 km/detik). Kesimpulannya adalah berdasarkan informasi dari Al Qur'an dapat dihitung kecepatan terbang malaikat dan Jibril yaitu 50 kali kecepatan cahaya! Masya Allah!

Sampai saat ini pengetahuan manusia belum menemukan sesuatu pun yang mempunyai kecepatan melebihi kecepatan cahaya. Berdasarkan petunjuk

Al Qur'an sangat jelas disebutkan bahwa malaikat dan Jibril mempunyai kemampuan terbang 50 kali kecepatan cahaya. Hal tersebut bisa dimaklumi karena penciptaan malaikat berasal dari unsur cahaya (nuur). Suatu saat diharapkan ilmuwan muslim dapat meneliti petunjuk tersebut dan menjadi penemu yang selangkah lebih maju karena berdasarkan Al Qur'an, kitab suci yang merupakan satu-satunya kitab yang eksak, berisi kepastian karena merupakan Firman Allah SWT.
Maha benar Allah dengan segala Firman-Nya.
----------
Catatan kaki:

[1190]. Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya.
[1537]. Maksudnya: terbang untuk melaksanakan perintah Tuhannya.
[1510]. Maksudnya: malaikat-malaikat dan Jibril jika menghadap Tuhan memakan waktu satu hari. Apabila dilakukan oleh manusia, memakan waktu limapuluh ribu tahun.

sumber: tahukah kamu.com

My Indonesia

The Republic of Indonesia is a transcontinental country in Southeast Asia and Oceania. Indonesia comprises 17,508 islands, and with an estimated population of around 237 million people, it is the world's fourth most populous country, and has the largest Muslim population in the world.

Indonesia is a republic, with an elected legislature and president. The nation's capital city is Jakarta. The country shares land borders with Papua New Guinea, East Timor and Malaysia. Other neighboring countries include Singapore, Philippines, Australia, and the Indian territory of the Andaman and Nicobar Islands.

 The Indonesian archipelago has been an important trade region since at least the seventh century, when the Srivijaya Kingdom traded with China and India. Local rulers gradually adopted Indian cultural, religious and political models from the early centuries CE, and Hindu and Buddhist kingdoms flourished. Indonesian history has been influenced by foreign powers drawn to its natural resources. Muslim traders brought Islam, and European powers fought one another to monopolize trade in the Spice Islands of Maluku during the Age of Discovery. Following three and a half centuries of Dutch colonialism, Indonesia secured its independence after World War II. Indonesia's history has since been turbulent, with challenges posed by natural disasters, corruption, separatism, a democratization process, and periods of rapid economic change.

 Across its many islands, Indonesia consists of distinct ethnic, linguistic, and religious groups. The Javanese are the largest and most politically dominant ethnic group. Indonesia has developed a shared identity defined by a national language, ethnic diversity, religious pluralism within a majority Muslim population, and a history of colonialism and rebellion against it. Indonesia's national motto, "Bhinneka tunggal ika" ("Unity in Diversity" literally, "many, yet one"), articulates the diversity that shapes the country. However, sectarian tensions and separatism have led to violent confrontations that have undermined political and economic stability. Despite its large population and densely populated regions, Indonesia has vast areas of wilderness that support the world's second highest level of biodiversity. The country is richly endowed with natural resources, yet poverty is a defining feature of contemporary Indonesia.

Etymology
The name Indonesia derives from the Latin Indus, meaning "India", and the Greek nesos, meaning "island". The name dates to the 18th century, far predating the formation of independent Indonesia. In 1850, George Earl, an English ethnologist, proposed the terms Indunesians — and, his preference, Malayunesians — for the inhabitants of the "Indian Archipelago or Malayan Archipelago". In the same publication, a student of Earl's, James Richardson Logan, used Indonesia as a synonym for Indian Archipelago. However, Dutch academics writing in East Indies publications were reluctant to use Indonesia. Instead, they used the terms Malay Archipelago (Maleische Archipel); the Netherlands East Indies (Nederlandsch Oost Indië), popularly Indië; the East (de Oost); and even Insulinde.

From 1900, the name Indonesia became more common in academic circles outside the Netherlands, and Indonesian nationalist groups adopted it for political expression. Adolf Bastian, of the University of Berlin, popularized the name through his book Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipels, 1884–1894. The first Indonesian scholar to use the name was Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), when he established a press bureau in the Netherlands with the name Indonesisch Pers-bureau in 1913.

History
Fossilized remains of Homo erectus, popularly known as the "Java Man", suggest that the Indonesian archipelago was inhabited two million to 500,000 years ago. Austronesian people, who form the majority of the modern population, migrated to South East Asia from Taiwan. They arrived in Indonesia around 2000 BCE, and confined the native Melanesian peoples to the far eastern regions as they expanded. Ideal agricultural conditions, and the mastering of wet-field rice cultivation as early as the eighth century BCE, allowed villages, towns, and small kingdoms to flourish by the first century CE. Indonesia's strategic sea-lane position fostered inter-island and international trade. For example, trade links with both Indian kingdoms and China were established several centuries BCE. Trade has since fundamentally shaped Indonesian history.

From the seventh century CE, the powerful Srivijaya naval kingdom flourished as a result of trade and the influences of Hinduism and Buddhism that were imported with it. Between the eighth and 10th centuries CE, the agricultural Buddhist Sailendra and Hindu Mataram dynasties thrived and declined in inland Java, leaving grand religious monuments such as Sailendra's Borobudur and Mataram's Prambanan. The Hindu Majapahit kingdom was founded in eastern Java in the late 13th century, and under Gajah Mada, its influence stretched over much of Indonesia; this period is often referred to as a "Golden Age" in Indonesian history.

Although Muslim traders first traveled through South East Asia early in the Islamic era, the earliest evidence of Islamized populations in Indonesia dates to the 13th century in northern Sumatra. Other Indonesian areas gradually adopted Islam, and it was the dominant religion in Java and Sumatra by the end of the 16th century. For the most part, Islam overlaid and mixed with existing cultural and religious influences, which shaped the predominant form of Islam in Indonesia, particularly in Java. The first Europeans arrived in Indonesia in 1512, when Portuguese traders, led by Francisco Serrão, sought to monopolize the sources of nutmeg, cloves, and cubeb pepper in Maluku. Dutch and British traders followed. In 1602 the Dutch established the Dutch East India Company (VOC) and became the dominant European power. Following bankruptcy, the VOC was formally dissolved in 1800, and the government of the Netherlands established the Dutch East Indies as a nationalized colony.

For most of the colonial period, Dutch control over these territories was tenuous; only in the early 20th century did Dutch dominance extend to what was to become Indonesia's current boundaries. The Japanese invasion and subsequent occupation during World War II ended Dutch rule, and encouraged the previously suppressed Indonesian independence movement. Two days after the surrender of Japan in August 1945, Sukarno, an influential nationalist leader, declared independence and was appointed president. The Netherlands tried to reestablish their rule, and an armed and diplomatic struggle ended in December 1949, when in the face of international pressure, the Dutch formally recognized Indonesian independence (with the exception of The Dutch territory of West New Guinea, which was incorporated following the 1962 New York Agreement, and UN-mandated Act of Free Choice).

Sukarno moved from democracy towards authoritarianism, and maintained his power base by balancing the opposing forces of the Military, and the Communist Party of Indonesia (PKI). An attempted coup on 30 September 1965 was countered by the army, who led a violent anti-communist purge, during which the PKI was blamed for the coup and effectively destroyed. Between 500,000 and one million people were killed. The head of the military, General Suharto, out-maneuvered the politically weakened Sukarno, and was formally appointed president in March 1968. His New Order administration was supported by the US government, and encouraged foreign direct investment in Indonesia, which was a major factor in the subsequent three decades of substantial economic growth. However, the authoritarian "New Order" was widely accused of corruption and suppression of political opposition.

In 1997 and 1998, Indonesia was the country hardest hit by the Asian Financial Crisis. This increased popular discontent with the New Order and led to popular protests. Suharto resigned on 21 May 1998. In 1999, East Timor voted to secede from Indonesia, after a twenty-five-year military occupation that was marked by international condemnation of often brutal repression of the East Timorese. Since Suharto's resignation, a strengthening of democratic processes has included a regional autonomy program, and the first direct presidential election in 2004. Political and economic instability, social unrest, corruption, and terrorism have slowed progress. Although relations among different religious and ethnic groups are largely harmonious, acute sectarian discontent and violence remain problems in some areas. A political settlement to an armed separatist conflict in Aceh was achieved in 2005.

Geography
Indonesia consists of 17,508 islands, about 6,000 of which are inhabited. These are scattered over both sides of the equator. The five largest islands are Java, Sumatra, Kalimantan (the Indonesian part of Borneo), New Guinea (shared with Papua New Guinea), and Sulawesi. Indonesia shares land borders with Malaysia on the islands of Borneo and Sebatik, Papua New Guinea on the island of New Guinea, and East Timor on the island of Timor. Indonesia also shares borders with Singapore, Malaysia, and the Philippines to the north and Australia to the south across narrow straits of water. The capital, Jakarta, is on Java and is the nation's largest city, followed by Surabaya, Bandung, Medan, and Semarang.

At 1,919,440 square kilometers (741,050 sq mi), Indonesia is the world's 16th-largest country in terms of land area. Its average population density is 134 people per square kilometer (347 per sq mi), 79th in the world, although Java, the world's most populous island, has a population density of 940 people per square kilometer (2,435 per sq mi). At 4,884 meters (16,024 ft), Puncak Jaya in Papua is Indonesia's highest peak, and Lake Toba in Sumatra its largest lake, with an area of 1,145 square kilometers (442 sq mi). The country's largest rivers are in Kalimantan, and include the Mahakam and Barito; such rivers are communication and transport links between the island's river settlements.

Mount Semeru and Mount Bromo in East Java. Indonesia's seismic and volcanic activity is among the world's highest.

Indonesia's location on the edges of the Pacific, Eurasian, and Australian tectonic plates makes it the site of numerous volcanoes and frequent earthquakes. Indonesia has at least 150 active volcanoes, including Krakatoa and Tambora, both famous for their devastating eruptions in the 19th century. The eruption of the Toba supervolcano, approximately 70,000 years ago, was one of the largest eruptions ever, and a global catastrophe. Recent disasters due to seismic activity include the 2004 tsunami that killed an estimated 167,736 in northern Sumatra, and the Yogyakarta earthquake in 2006. However, volcanic ash is a major contributor to the high agricultural fertility that has historically sustained the high population densities of Java and Bali.

Lying along the equator, Indonesia has a tropical climate, with two distinct monsoonal wet and dry seasons. Average annual rainfall in the lowlands varies from 1,780–3,175 millimeters (70–125 in), and up to 6,100 millimeters (240 in) in mountainous regions. Mountainous areas—particularly in the west coast of Sumatra, West Java, Kalimantan, Sulawesi, and Papua—receive the highest rainfall. Humidity is generally high, averaging about 80%. Temperatures vary little throughout the year; the average daily temperature range of Jakarta is 26–30 °C (79–86 °F).

Biota and environment
Indonesia's size, tropical climate, and archipelagic geography, support the world's second highest level of biodiversity (after Brazil), and its flora and fauna is a mixture of Asian and Australasian species. Once linked to the Asian mainland, the islands of the Sunda Shelf (Sumatra, Java, Borneo, and Bali) have a wealth of Asian fauna. Large species such as the tiger, rhinoceros, orangutan, elephant, and leopard, were once abundant as far east as Bali, but numbers and distribution have dwindled drastically. Forests cover approximately 60% of the country. In Sumatra and Kalimantan, these are predominantly of Asian species. However, the forests of the smaller, and more densely populated Java, have largely been removed for human habitation and agriculture. Sulawesi, Nusa Tenggara, and Maluku—having been long separated from the continental landmasses—have developed their own unique flora and fauna. Papua was part of the Australian landmass, and is home to a unique fauna and flora closely related to that of Australia, including over 600 bird species.

Indonesia is second only to Australia in its degree of endemism, with 26% of its 1,531 species of bird and 39% of its 515 species of mammal being endemic. Indonesia's 80,000 kilometers (50,000 mi) of coastline are surrounded by tropical seas that contribute to the country's high level of biodiversity. Indonesia has a range of sea and coastal ecosystems, including beaches, sand dunes, estuaries, mangroves, coral reefs, sea grass beds, coastal mudflats, tidal flats, algal beds, and small island ecosystems. The British naturalist, Alfred Wallace, described a dividing line between the distribution and peace of Indonesia's Asian and Australasian species. Known as the Wallace Line, it runs roughly north-south along the edge of the Sunda Shelf, between Kalimantan and Sulawesi, and along the deep Lombok Strait, between Lombok and Bali. West of the line the flora and fauna are more Asian; moving east from Lombok, they are increasingly Australian. In his 1869 book, The Malay Archipelago, Wallace described numerous species unique to the area. The region of islands between his line and New Guinea is now termed Wallacea.

Indonesia's high population and rapid industrialization present serious environmental issues, which are often given a lower priority due to high poverty levels and weak, under-resourced governance. Issues include large-scale deforestation (much of it illegal) and related wildfires causing heavy smog over parts of western Indonesia, Malaysia and Singapore; over-exploitation of marine resources; and environmental problems associated with rapid urbanization and economic development, including air pollution, traffic congestion, garbage management, and reliable water and waste water services. Habitat destruction threatens the survival of indigenous and endemic species, including 140 species of mammals identified by the World Conservation Union (IUCN) as threatened, and 15 identified as critically endangered, including the Sumatran Orangutan.

Culture
 Indonesia has around 300 ethnic groups, each with cultural differences developed over centuries, and influenced by Indian, Arabic, Chinese, Malay, and European sources. Traditional Javanese and Balinese dances, for example, contain aspects of Hindu culture and mythology, as do wayang kulit (shadow puppet) performances. Textiles such as batik, ikat and songket are created across Indonesia in styles that vary by region. The most dominant influences on Indonesian architecture have traditionally been Indian; however, Chinese, Arab, and European architectural influences have been significant. The most popular sports in Indonesia are badminton and football; Liga Indonesia is the country's premier football club league. Traditional sports include sepak takraw, and bull racing in Madura. In areas with a history of tribal warfare, mock fighting contests are held, such as, caci in Flores, and pasola in Sumba. Pencak Silat is an Indonesian martial art. Sports in Indonesia are generally male-orientated and spectator sports are often associated with illegal gambling. A selection of Indonesian food, including Soto Ayam (chicken soup), sate kerang (shellfish kebabs), tempe, telor pindang (preserved eggs), perkedel (fritter), and es teh manis (sweet iced tea)

Indonesian cuisine varies by region and is based on Chinese, European, Middle Eastern, and Indian precedents. Rice is the main staple food and is served with side dishes of meat and vegetables. Spices (notably chili), coconut milk, fish and chicken are fundamental ingredients. Indonesian traditional music includes gamelan and keroncong. Dangdut is a popular contemporary genre of pop music that draws influence from Arabic, Indian, and Malay folk music. The Indonesian film industry's popularity peaked in the 1980s and dominated cinemas in Indonesia, although it declined significantly in the early 1990s. Between 2000 and 2005, the number of Indonesian films released each year has steadily increased.

The oldest evidence of writing in Indonesia is a series of Sanskrit inscriptions dated to the 5th century CE. Important figures in modern Indonesian literature include: Dutch author Multatuli, who criticized treatment of the Indonesians under Dutch colonial rule; Sumatrans Muhammad Yamin and Hamka, who were influential pre-independence nationalist writers and politicians; and proletarian writer Pramoedya Ananta Toer, Indonesia's most famous novelist. Many of Indonesia's peoples have strongly rooted oral traditions, which help to define and preserve their cultural identities. Media freedom in Indonesia increased considerably after the end of President Suharto's rule, during which the now-defunct Ministry of Information monitored and controlled domestic media, and restricted foreign media. The TV market includes ten national commercial networks, and provincial networks that compete with public TVRI. Private radio stations carry their own news bulletins and foreign broadcasters supply programs. At a reported 25 million users in 2008, Internet usage is limited to a minority of the population, approximately 10.5%.

Time Zones
The archipelago stretches across three time zones: Western Indonesian Time-seven hours in advance of Greenwich Mean Time (GMT)--includes Sumatra, Java, and eastern Kalimantan; Central Indonesian Time--eight hours head of GMT--includes western Kalimantan, Nusa Tenggara, and Sulawesi; and Eastern Indonesian Time--nine hours ahead of GMT-- includes the Malukus and Papua. The boundary between the western and central time zones--established in 1988--is a line running north between Java and Bali through the center of Kalimantan. The border between central and eastern time zones runs north from the eastern tip of Timor to the eastern tip of Sulawesi.

Visit Indonesia ! :D

sumber : World Science

Rahasia dibalik sarang laba-laba

”Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah. Adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalaumereka mengetahui.” (Q.S. Al Ankabut [29]: 41)

Laba-laba adalah binatang yang ada dimana-mana, mulai dari hutan sampai gedung-gedung hunia. Lebih dari 90% bangunan di dunia ada laba-laba di dalamnya, sehingga semua orang mengenal binatang ini. Al Quran telah mengabadikannya menjadi nama sebuah surat, yakni Surat Al Ankabut. Binatang yang disebutkan secara khusus dalam Al Quran, tentunya memiliki sesuatu hal yang istimewa. Namun sayang, orang-orang lebih fokus pada kekurangan laba-laba, salah satunya rumah laba-laba yang dianggap sebagai rumah paling lemah.

 Selama ribuan tahun, para ahli tafsir memberikan komentar yang senada, yakni ulasan tentang kelemahan laba-laba tidak mempunyai keistimewaan apa-apa. Sejak musafir abad ke-7, misalnya Abdullah bin Abbas, sampai musafir abad ke-20, Ahmad Mustafa al-Maraghi, sama-sama mengatakan bahwa rumah laba-laba memang lemah karena tidak bisa melindunginya dari panas dan dingin. Rumah laba-laba juga rapuh karena mudah hancur bil diterjang angin atau binatang lain.

Dalam tafsir Al Jami'ul Akhamil Quran karya Imam al-Qurthubi disebutkan sebuah hadis ucapan Yazid bin Maisarah bahwa laba-laba adalah setan, dan bahwa Ali bin Abi Thalib menganggap adanya sarang laba-laba di dalam rumah akan mewariskan kemiskinan maka harus dibuang.

Tafsir Ad-Durul Mantsur karya Jalaluddin as-Sayuti memuat hadis mursal Abu Daud yang berasal dari Yazid bin Martsad tentang sabda Rasulullah Saw. yang menyebutkan bahwa laba-laba adalah setan yang harus dibunuh bila mendapatinya. Lho, bukankah laba-laba yang justru menutupi pintu gua, melindungi Rasulullah Saw. bersama Abu Bakar sewaktu bersembunyi di Gua Tsur ketika hijrah??? Tafsiran tersebut sungguh membuat kita penasaran. Harus ada sesuatu yang penting dari laba-laba.

Dalam jurnal ilmiah science edisi 5 Januari 1996, ilmuwan Jelinski dan koleganya dari Cornell University, Itacha, New York, mengungkapkan sebagian rahasia laba-laba. Dalam penelitiannya di laboratorium, ditemukan bahwa jaring laba-laba yang diproduksi dari tubuh binatang itu sendiri, terbuat dari molekul-molekul berbentuk serat, yang tersusun dari residu asam amino glisin 42%, alanin 25%, dan 33% sisinya glutamin, serin dan triosin. Analisis Resonansi Magnetik Serat terhadap jaring laba-laba yang mengandung 40% alanin menunjukkan suatu struktur yang terorganisir sangat rapi seperti kristal. Jaring laba-laba ternyata tahan air dan memiliki 5 kali lebih besar dari pada baja dengan ukuran sama, dan 2 kali lentur daripada serat nilon.

Menurut Bambang Ariwahjoedi dan Zeily Nurachman, ahli kimia dan teknnik material dari ITB, kekuatan jaring serat laba-laba adalah 1x1.000.000.000 N/m kuadrat. Ini hampir sama kuatnya dengan serat kevlar, serat polimer sintetis yang dipakai sebagai bahan pembuatan rompi anti peluru. Sedangkan ketangguhannya, 4 kali lebih besar. Penelitian membuktikan bahwa jaring laba-laba sanggup menahan dan menjerat serangga besar, kecil, lalat, belalang sampai burung pipit.

Begitu kuatnya serat jaring laba-laba ini, sehingga dimungkinkan untuk menjadi bahan tekstil anti peluru, penguat material komposit untuk selubung peralatan elektronik, body mobil, dan bahan pesawat terbang. Laba-laba menjadi sumber inspirasi bagi penciptaan material baru yang bersumber dari mahluk hidup, bio materials, seperti protein, polisakarida, dan lain-lain. Dengan berkembangnya ilmu bio-engineering, laba-laba bisa diternakkan menjadi berjuta-juta ekor, diberi makan larutan zat tertentu untuk secara massal ”dipekerjakan” memproduksi serat yang sangat kuat bagikeperluan industri. Teknologi gen-cloning bisa digunakan untuk membuat bakteri yang dapat dikerahkan memproduksiserat laba-laba secara in vitro dalam tabung kimia. Para arsitek dari Jerman sudah mengembangkan konstruksi bentangan lebar yang sangat kuat tapi tipis yang diilhami dari jaring laba-laba.

 Jadi, jaring laba-laba sama sekali tidak lemah dan bukan tidak berguna. Lantas mengapa ayat Al Quran menyebutkan lemah? Firman Allah tidak keliru. Tafsirnya yang harus lebih disempurnakan. Perhatikan ayat diatas baik-baik. Ternyata yang disebutkan lemah adalah rumahnya laba-laba. Bukan jaringnya. Laba-laba adalah karnivora, yang membuat jaring jebakan dan bersarang dibalik daun-daunan, di sudut tembok, di balik lemari. Di sana mereka menunggu mangsa yang terperangkap di jaring yang amat kuat itu, baru mendekat untuk membunuh dan menyeretnya untuk dimakan.

Rumah (sarang) tempat diam dan bertelur laba-laba inilah yang sangat lemas, jenis kelemahannya belum terungkap, jadi harus diteliti ilmuwan Muslim, setelah kekuatan jaring laba-laba ditemukan oleh ilmuwan non-Muslim. Dengan begitu Al Quran kita tempatkan pada fungsinya yang mulia, sebagai pedoman di segala sektor kehidupan, termasuk isyarat di bidang penelitian sains dan teknologi. Bukan hanya berisi anjuran beramai-ramai membunuh laba-laba. . . 

sumber: World Science

Selasa, 06 Desember 2011

BioLight, Lampu Masa Depan Berbahan Bakteri

Lampu yang dijadikan penerangan di rumah biasanya adalah hasil fusi (gabungan) aliran listrik yang mengalir dalam perangkat kabel bola lampu. Hasil fusi tersebut mengakibatkan adanya energi berpijar pada bola lampu. Namun, tak lama lagi, penemuan Thomas Alpha Edison ini akan tersaingi dengan kehadiran bola lampu berbahan bakteri.

Kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa bakteri pembawa masalah dalam kehidupan manusia. Padahal, tidak semua bakteri seperti itu. Baru-baru ini telah dilakukan ujicoba terhadap jutaan mikroorganisme hasil daur ulang limbah rumah tangga, yang dimanfaatkan untuk sumber cahaya.
Perusahaan elektronik Philips melakukan percobaan tersebut. Penggunaan bakteri sebagai suber cahaya yang disebut ‘bio-light’ itu, mampu menerangi dan memberikan kehangatan di rumah. Percobaan dilakukan pada serangkaian gelas kaca yang mengandung bakteri bercahaya.
Bakteri akan memancarkan cahaya pada gelas kaca saat diberi gas metana. Cahaya yang dihasilkan sangat hangat dan hampir sama seperti pancaran sinar yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Menurut ahli Biologi tumbuhan dari Universitas Cambridge, Jim Haseloff, model percobaan seperti itu sangatlah penting untuk mencari sumber cahaya yang berkelanjutan.
“Ini sangat menarik. Saya tidak bisa membayangkan jika semua orang akan mengembangkan penggunaan bakteri sebagai sumber cahaya dalam rumah. Tapi, eksplorasi ide seperti itu mungkin bisa dilakukan,” kata Haseloff kepada CNN.
lampu-kunangkunang2





Published On: Tue, Dec 6th, 2011

Wow, Lampu Masa Depan Berbahan Bakteri (Bio Light)

Lampu yang dijadikan penerangan di rumah biasanya adalah hasil fusi (gabungan) aliran listrik yang mengalir dalam perangkat kabel bola lampu. Hasil fusi tersebut mengakibatkan adanya energi berpijar pada bola lampu. Namun, tak lama lagi, penemuan Thomas Alpha Edison ini akan tersaingi dengan kehadiran bola lampu berbahan bakteri.
lampu-kunangkunang
Kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa bakteri pembawa masalah dalam kehidupan manusia. Padahal, tidak semua bakteri seperti itu. Baru-baru ini telah dilakukan ujicoba terhadap jutaan mikroorganisme hasil daur ulang limbah rumah tangga, yang dimanfaatkan untuk sumber cahaya.
Perusahaan elektronik Philips melakukan percobaan tersebut. Penggunaan bakteri sebagai suber cahaya yang disebut ‘bio-light’ itu, mampu menerangi dan memberikan kehangatan di rumah. Percobaan dilakukan pada serangkaian gelas kaca yang mengandung bakteri bercahaya.
Bakteri akan memancarkan cahaya pada gelas kaca saat diberi gas metana. Cahaya yang dihasilkan sangat hangat dan hampir sama seperti pancaran sinar yang dihasilkan oleh kunang-kunang. Menurut ahli Biologi tumbuhan dari Universitas Cambridge, Jim Haseloff, model percobaan seperti itu sangatlah penting untuk mencari sumber cahaya yang berkelanjutan.
“Ini sangat menarik. Saya tidak bisa membayangkan jika semua orang akan mengembangkan penggunaan bakteri sebagai sumber cahaya dalam rumah. Tapi, eksplorasi ide seperti itu mungkin bisa dilakukan,” kata Haseloff kepada CNN.
lampu-kunangkunang2
Bio-light merupakan sumber energi berkelanjutan yang sangat murah meriah dan berasal dari bakteri yang ada di sekitar rumah. Penelitiannya sedang dikembangkan lebih lanjut oleh Philips, untuk menghasilkan sumber cahaya yang berasal dari alam.